Hari ini Hari Ibu, aku tidak mengucapkan kata selamat kepada ibuku. Kenapa? Apakah aku tidak mencintai ibuku? Apakah ibuku tidak mencintaiku? Tidak. Aku mencintai dan dicintai Ibuku dengan cara yang sangat sederhana dan istimewa.
Ibuku, aku memanggilnya Biyung. Panggilan untuk Ibu di daerah Purbalingga. Panggilan demikian sudah hilang mungkin dari keseharian. Mungkin hanya di daerah pedesaan nama itu masih populer. Aku memang tetap memanggilnya begitu. Meskipun aku telah menjadi seorang guru. Meskipun beberapa tetangga memintaku mengubah panggilanku pada Ibuku menjadi mama atau Ibu.
Ibuku akan tersenyum saja. Ia akan menolak dengan serta merta. Aku pun tidak memaksa. Bagiku panggilan apa pun tetap aku mencintai dan mengaguminya. Lagipula panggilan itu unik terdengar. Aku seperti tetap terhubung dengan masa lalu. Agar aku senantiasa sadar darimana aku berasal hingga bisa berdiri seperti sekarang.
Biarlah semua sederhana seperti biasa. Kami bercengkrama, kadang-kadang selayaknya teman. Kadang-kadang menjadi tempat curhat kegalauan hatinya. Kadang-kadang juga menjadi lawan debat yang seru. Ada cinta di sana, meskipun kadang-kadang ada amarah, ada beda pendapat. Tapi tetap engkau mencintaiku dengan caramu dan akupun mencintaimu dengan caraku. Kita memang dari generasi berbeda. Tapi kita dari darah yang sama.
Ibuku tidak mengenal apa itu Hari Ibu. Biarlah semua tetap seperti itu. Lagipula itu tidak kan mengubah cintamu. Jika aku mengucapkan selamat hari ibu kepada beliau. mungkin justru ada renggang rasa di antara kita. Kikuk dan timbul rasa enggan. Itulah sebabnya saya tidak pernah mengucapkan selamat kepada ibuku. Tetapi tetap aku mencintaimu dan mengagumimu dengan setulusnya. Dan kulihat pula doa, cinta dan kasih sayangmu yang abadi senantiasa terpancar dari sinar matamu saat kau memandangku. I love you. Matur nembah suwun kagem Biyungku.